Perlukah Afirmasi Pengusaha Perempuan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah?
Belajar PBJ April 21, 2025![]() |
Photo by Dai KE on Unsplash |
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti kursus Global Public Procurement dari Korea Advanced Institute of Science and Technology melalui platform Coursera. Di kursus itu mempelajari bagaimana negara-negara di belahan dunia lain mengelola PBJ Pemerintah mereka. Khususnya dalam pengadaan barang jasa pemerintah skala global. Kebetulan salah satu yang disajikan adalah data dari Amerika Serikat. Ada satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu bahwa di Amerika disediakan alokasi anggaran pemerintah khusus untuk pengusaha perempuan (woman owned business).
Jujur, saya baru tahu ada program seperti ini di pengadaan pemerintah. Dalam kebijakan yang cenderung netral gender, keberadaan alokasi khusus untuk usaha milik perempuan terasa sebagai satu langkah yang progresif. Pemerintah Amerika Serikat bahkan menetapkan: setidaknya 5% dari total nilai kontrak federal yang disediakan untuk pengusaha perempuan. Program ini dikenal sebagai Women-Owned Small Business (WOSB) Federal Contracting Program.
Saya kemudian penasaran, bagaimana dengan sistem PBJ Pemerintah di Indonesia—apakah kita telah berjalan menuju arah yang serupa? Apakah sudah ada perhatian khusus untuk pengusaha perempuan?
Dari penelusuran awal, saya menemukan bahwa di Indonesia sudah ada kebijakan untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi (UMK) melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021. Dalam perpres tersebut disebutkan bahwa minimal 40% dari anggaran pengadaan harus dialokasikan untuk UMK & Koperasi. Meski belum secara spesifik menyasar kelompok pengusaha perempuan, arah kebijakan ini menunjukkan bahwa ruang afirmasi dalam pengadaan pemerintah memang terbuka dan terus berkembang. Ini menjadi tanda positif bahwa kebijakan ini memberi peluang yang lebih besar bagi UMK secara umum, yang mana di dalamnya termasuk usaha milik perempuan.
Berita baiknya adalah dari 64,2 juta pelaku UMKM di Indonesia, sekitar 37 juta di antaranya adalah pelaku usaha perempuan. Data tahun 2021 ini saya temukan dari situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di sini. Artinya, lebih dari separuh UMKM Indonesia dijalankan oleh perempuan. Ini bukan sekadar angka, tapi cerminan dari kekuatan ekonomi perempuan yang nyata dan aktif di seluruh penjuru negeri. Dengan data ini, sangat jelas bahwa peran pengusaha perempuan sangat besar dalam perekonomian Indonesia.
Namun, belum ada afirmasi yang secara eksplisit ditujukan untuk pengusaha perempuan. Saya belum menemukan adanya target kuota, program khusus, ataupun data yang bisa menunjukkan seberapa banyak pelaku usaha perempuan yang ikut serta dalam pengadaan pemerintah. Saya kemudian mencari lagi, dan menemukan salah satu tulisan yang membahas topik ini yakni yang ditulis oleh Pak Christian Gamas di christiangamas.net tahun 2023 di sini, yang juga menyoroti Pengarusutamaan Gender dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan mengusulkan modifikasi berbasis gender pada dokumen spesifikasi PBJ Pemerintah.
Menurut salah satu artikel daring Idntimes.com tahun 2024 di sini, Bapak Dr. H. Hendrar Prihadi, S.E., M.M., Kepala LKPP, menyampaikan dorongan kepada pengusaha perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama melalui IWAPI, dalam dalam Rapat Kerja Daerah III IWAPI Jawa Tengah. Ini adalah kabar baik, bahwa sebenarnya sistem PBJ Pemerintah di Indonesia telah mulai bergerak ke arah yang lebih inklusif dan responsif terhadap keragaman gender dalam ekosistem pelaku usaha.
Saya rasa untuk menuju ke sana, sebelum adanya afirmasi pengusaha perempuan, bisa dimulai dengan data dulu. Bayangkan jika di SiKAP, atau mungkin OSS, ada kolom untuk mencatat gender pemilik usaha. Lalu kita bisa melihat berapa persen vendor aktif perempuan, di sektor apa saja mereka bergerak, dan berapa nilai partisipasinya dalam rupiah, maupun dalam jumlah kontrak kerja sama. Dengan cara ini, sistem pengadaan bisa lebih memperhatikan keberagaman gender dan memberi ruang yang lebih besar bagi pengusaha perempuan untuk berperan lebih besar dalam ekonomi nasional.
Sebagai seorang perempuan yang terlibat dalam dunia pengadaan, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk terus mendorong perubahan ini. Saya yakin, dengan data yang akurat dan kebijakan yang berbasis pada fakta dan angka, kita bisa lebih adil dalam memberi kesempatan kepada semua pihak, tanpa memandang gender. Harapannya, akan ada kebijakan yang lebih strategis dan tepat sasaran untuk pengusaha perempuan, yang pada akhirnya dapat memberikan dampak lebih besar terhadap pemberdayaan ekonomi perempuan di Indonesia, seperti afirmasi untuk pengusaha perempuan dalam PBJ Pemerintah.
Catatan ini ditulis saat Hari Kartini. Selamat memperingati Hari Kartini, Bapak/Ibu pembaca. Bagaimana menurut Bapak/Ibu? Perlukan afirmasi pengusaha perempuan dalam PBJ Pemerintah kita? Mari berdiskusi di kolom komentar.
Salam,
Sitra